Selasa, 13 Oktober 2009

Akhirnya Kutemukan Jalan Kristus

Aku lahir di Porsea, daerah Kabupaten Toba Samosir, Propinsi Sumatera Utara. Kabupaten Toba Samosir adalah salah satu Kabupaten dari 13 Kabupaten Sumatera Utara. Rumahku treletak di dekat PT. INALUM, pabrik yang memproduksi aluminium dan energi listrik.

Sebagaimana kebanyakan orang Indonesia dari etnis Batak Toba yang banyak beragama Kristen Protestan, akupun sejak kecil memeluk agama ini. Jadi agamaku adalah agama pembawaan sejak aku lahir. Agama yang ditentukan oleh orang tuaku. Pada waktu itu aku hanya menerima saja, sebab aku berpendapat bahwa apa yang diberikan oleh orang tua untuk anaknya itu selamanya baik.

Aku menempuh SD, SMP, dan SMA di daerah kelahiranku, Porsea. Menginjak akhir SMA, orang tuaku berharap aku bisa kuliah di universitas negeri di kota Medan, kalo toh tidak bisa masuk, setidak-tidaknya mereka berharap aku bisa masuk ke Universitas HKBP Nonmensen Medan. Maklum orang tuaku punya usaha toko di kota Medan dan mereka berharap aku lah yang meneruskan pengelolaannya. Padahal keinginanku dalam hati, aku ingin merantau ke Pulau Jawa. Entah kenapa Jawa adalah impian yang selalu mengganggu diriku setiap tidur. Karena impian itulah, siang-malam aku belajar keras. Aku juga ikut bimbingan test di Lembaga Bimbingan Belajar BIMA yang terletak di Jalan P. Anggi No. 5 Porsea. Usahaku tidak sia-sia. Tahun 1994, aku berhasil diterima di Fakultas Farmasi UGM.

Melihat aku diterima masuk di sebuah universitas negeri Jawa, apalagi UGM, pandangan orang tuaku berubah. Mereka mengikhlaskanku untuk merantau ke Pulau Jawa. Orang tuaku selalu berpesan agar aku jangan sampai lalai beribadah. Jujur saja. Sebenarnya saat itu aku termasuk orang yang apatis dalam urusan agama.

Awal mula apatismeku terhadap agama dimulai saat aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri pertikaian memperebutkan kepemimpinan di tubuh gerejaku (yang anggotanya banyak terdiri dari etnis Batak). Pemerintah yang berkuasa saat itu benar-benar telah mengobrak-abrik kehidupan spiritual gerejaku. Aku juga amat kecewa dengan para petinggi gerejaku karena mau diintervensi kemerdekaan spritiualnya. Konflik yang berlarut-larut membuatku apatis terhadap gereja. Sebagai pelariannya, aku sering begadang, hura-hura, pokoknya segala hal yang bisa membuatku bebas terhadap segala kekangan. Toh, meski aku sosok yang suka hura-hura namun aku tetap tidak melupakan belajar, dan hasilnya aku masuk UGM.

Impianku untuk menimba ilmu di Yogyakarta akhirnya benar-benar jadi kenyataan. Yogyakarta bukan kota sembarangan bagiku.Yogyakarta telah membuat perubahan yang revolusioner dalam diriku.

Dalam perjalanan hidup di Yogyakarta inilah arah kehidupanku berubah. Di Yogyakarta, aku kost di kampung Sagan. Tempat kostku dekat sekali dengan Rumah Sakit Panti Rapih, sebuah rumah sakit Katolik di Yogyakarta. Bukan suatu kebetulan pula bila teman-teman kost sebagian besar juga beragama Katolik. Padahal sejak dulu, aku termasuk membenci agama Katolik. Aku merasa agama ini cenderung fatalis dan menyimpang dari Jalan Kristus. Toh, meskipun aku benci Katolik, aku juga jadi tahu banyak tentang aktivitas teman-teman Katolik. Pergaulanku yang intens dengan teman-teman Katolik juga banyak menambah wawasanku. Aku jadi tahu bagaimana visi spiritualitas mereka. Aku tahu banyak aktivitas teman-teman Katolikku. Aku jadi tahu kalo mereka sering ngumpul di rumahnya Bu Tinah. Bu Tinah, janda yang suaminya mantan Koramil di Wirobrajan Aku amat membenci rumah Bu Tinah. Tak heran, meski rute ke kampus lebih dekat lewat rumah Bu Tinah, aku selalu cari jalan lain. Arah hidup diriku berubah pada tahun 1998. Saat itu Indonesia dilanda krisis politik. Banyak kerusuhan terjadi dimana-mana. Demonstrasi mahasiswa silih berganti terjadi dimana-mana. Aku termasuk salah satu orang dari ribuan mahasiswa Indonesia yang menginginkan turunnya Soeharto. Bukan hal yang aneh, kalo saat itu semua mahasiswa UGM turun ke jalan untuk berdemonstrasi menentang rezim Soeharto. Beda dengan masa sekarang, dimana banyak mahasiswa berdemo tanpa tujuan yang jelas. Mungkin mahasiswa sekarang ingin mengalami romantisme pergerakan mahasiswa kakak-kakaknya pada tahun 1998.

Dalam menghadapi situasi yang serba kacau saat itu, pikiranku juga tidak terkonsentrasi pada kuliah. Bayangkan! Saat itu aku udah masuk ke laboratorium untuk penelitian skripsiku. Desakan teman-teman aktivis agar aku sejenak melupakan kuliah, mau tak mau harus kuterima. Akhirnya aku solider juga. Hari demi hari kulalui dengan demonstrasi. Aku ingin cerita terjadinya kejadian aneh yang membuat arah hidupku berubah. Perubahan drastis benar-benar terjadi pada saat terjadi demontrasi berdarah tanggal 11 Mei 1998, Kira-kira sepuluh hari sebelum jatuhnya Soeharto. Saat itu aku ikut berdemo bareng dengan ribuan massa lain di Bunderan UGM. Kebetulan aku dan teman-temanku dari Fakultas Farmasi yang jumlahnya 100-an orang mengambil posisi di seberang jalan dekat Rumah Sakit Panti Rapih. Tidak seperti biasanya, aku tidak tidak terlalu fokus pada orasi demonstrasi kali ini. Enath kenapa, pandanganku justru banyak tertuju pada kekuatan aparat keamanan. Kulihat banyak banyaknya keanehan. Tidak seperti biasanya, kali ini kekuatan aparat keamanaan berlipat ganda.

Aku juga melihat adanya ratusan tentara berbaret coklat di belakang markas Resimen Mahasiswa UGM. “Mereka pasti bukan pasukan biasa? “pikirku saat itu. Seingatku dulu saat di Porsea, aku pernah melihat sekompi pasukan baret coklat yang sedang latihan untuk persiapan berangkat ke Aceh. Kayaknya itu pasukan Kostrad! Wah, baru pertama kali kulihat kesatuan pasukan tempur harus ikut mengamankan demonstrasi. Mulai muncul kekhawatiranku. Dengan penuh kehati-hatian aku menuju markas Menwa. Kebetulan aku punya teman Batak disana. Johnson Sirait namanya. Sudah bukan rahasia lagi, banyak anggota Menwa yang menjadi aktivis pro reformasi. Johnson juga aktivis Menwa pro reformasi.

Aku lega kulihat Johnson ada disana. Dari informasi Johnson itulah, aku baru tahu bahwa akan ada pembersihan besar-besaran terhadap gerakan mahasiswa pro reformasi. Pasukan yang kulihat tadi memang pasukan Armed-Kostrad yang didatangkan dari Magelang untuk menghabisi aksi demo sore ini. Soeharto sudah gerah dengan aksi mahasiswa di Yogyakarta. Wah, benar-benar gawat nich! Hatiku semakin merasakan ketidaktenangan saat itu. Aku segera kembali ke posisiku. Ternyata firasatku benar! Belum ada beberapa menit, aku kembali ke posisiku, aksi demo sudah berubah menjadi kacau. Aku amat kaget, aparat menyerbu masuk ke arah mahasiswa. Desingan peluru karet dan semburan gas air mata terjadi dimana-mana. Kulihat ratusan mahasiswa roboh. Jeritan dan teriakan kesakitan bercampur menjadi satu.

Aku segera sadar untuk ambil langkah seribu. Dalam hati aku agak heran kok tidak biasanya aparat membubarkan demonstrasi sebelum waktunya. Aku bersama ratusan temanku lari ke arah Kampung Sagan. Kekuatan mahasiswa kocar-kacir. Ternyata aparat berlarian mengejar kearah kami. Aku masuk ke gang-gang di kampung Sagan. Tapi apes, dimana-mana rumah penduduk sudah ditutup pintunya. Aduh, aku benar-benar stress! Mau kembali ke kost jelas nggak mungkin. Banyak aparat tidak berseragam alias intel menyebar di kampung Sagan. Banyak sekali mahasiswa yang tertangkap. Erangan kesakitan akibat pukulan dan tendangan amat jelas terdengar di telingaku. Aduh, aku benar-benar takut! Kecepatan lariku segera kutambah. Aku benar-benar bingung untuk mencari persembunyian. Semua pintu rumah benar-benar tertutup rapat. Penduduk kampung tidak mau terkena resiko dengan menerima para demontran sembunyi.

Kesana kemari aku tidak bisa menemukan rumah yang bisa kujadikan tempat bersembunyi. Tiba-tiba saat berlari di gang selatan kampung, aku melihat ada pintu rumah yang masih terbuka. Tanpa pikir panjang, aku kemudian, masuk ke rumah itu. Oh, ternyata, udah banyak teman mahasiswa sembunyi di sana. Dan betapa terkejutnya aku saat lihat ada Bu Tinah di sana. Oh, aku baru ingat kalo rumah tersebut rumahnya Bu Tinah! Bu Tinah segera mengunci pintu dan mengajak semua mahasiswa berdoa agar selamat dari penyisiran aparat. Persembunyian berlangsung sampai malam hari jam 21.00 saat aparat sudah pergi dari kampung.

Setelah keluar, betapa kagetnya aku ketika dengar kabar bahwa semua mahasiswa yang sembunyi di Sagan berhasil ditangkap aparat dan dibawa ke Mapolda. Semua rumah diobrak-abrik aparat. Kulihat kaca-kaca jendela pecah dimana-mana. Aku juga dapat berita dari Pak RW, kalo satu ada rumah yang selamat dari penyisiran aparat, yaitu rumah Bu Tinah! Sebuah kenyataan yang sulit diterima akal sehat, karena letak rumah Bu Tinah amat strategis, di tengah-tengah kampung. Bagaimana mungkin rumah Bu Tinah bisa lolos dari penggeledahan aparat. Pasti ada mukjizat yang melindungi rumah Bu Tinah! Semua rumah tetangganya disisir aparat tanpa tersisa satupun.

Puji Tuhan! Barulah aku sadar bahwa ada sesuatu yang memberkati rumah Bu Tinah. Tuhan pasti telah memberkati rumah itu sehingga aku terselamatkan. Rumah Bu Tinah telah memberikan hikmah terbesar dalam hidupku. Beberapa minggu setelah tragedi 11 Mei, aku memutuskan untuk masuk Katolik. Aku ingin selalu berada di rumah Bu Tinah yang diberkati itu. Rumah Bu Tinah sekarang sudah jadi RUMAH YANG DIBERKATI.

Akhirnya pikiranku yang amat apatis terhadap agama mulai berubah dengan masuknya diriku ke Katolik. Aku mulai menemukan Keselamatan Jiwaku dan Kedamaian Hidup sejati yang kucari-cari selama ini. Makin jelas bagiku akan Jalan Kritus yang akan menyelamatku.

(Dan inilah keberanian percaya kita kepada-Nya, yaitu bahwa Dia mengabulkan doa kita,jikalau kita meminta sesuatu kepada-Nya menurut kehendak-Nya. 1 Yohanes 5:14.)

Salam buat Ibu Maria Magdalena Sutinah
dan teman-teman Mahasiswa Farmasi 94 UGM!


Reinhard J. Manurung
Email: reinhard_yogya@yahoo.com

1 komentar:

  1. Luar biasa...Tuhan sangat sayang pada anda..Salam kenal dari saya, Yohannes Don Bosco Yossy Darmasworo YBC, saya berada disolo..WA 081393481717, semoga Tuhan berkenan utk menjadikan kita sebagai sahabat. Amin

    BalasHapus